Sabtu, 26 Maret 2011

Kelezatan Eskrim Magnum


19/11/2010 : Wall’s Magnum luncurkan 3 varian baru; Magnum Classic, Almond dan Truffle

Jakarta, 11 november 2010 – Wall’s Magnum,
 salah satu merek ice cream Unilever terkemuka yang membawa kelezatan cokelat yang sesungguhnya untuk pasar es krim dewasa, kini hadir dengan varian baru menawarkan pengalaman intens luar biasa dan memanjakan layaknya seorang Putri.
Wall’s Magnum dengan tiga varian Wall’s Magnum Classic, Wall’s Magnum Almond dan Wall’s Magnum Chocolate Truffle diluncurkan di Jakarta hari ini dengan dihadiri oleh Marissa Nasution, Brand Ambassador Wall’s Magnum,Meila Handayani Putri, Senior Brand Manager Wall’s Magnum dan Eva Arisuci Rudjito, Marketing Manager Ice Cream Wall’s Unilever. Dengan hadirnya varian Wall’s Magnum, konsumen di Indonesia dapat merasakan kenikmatan es krim premium dengan lapisan coklat Belgia yang tebal dan renyah.
Meila Handayani Putri, Senior Brand Manager Wall’s Magnummengatakan, ”Lahir denganplatform baru yang memberikan pengalaman berkelas, yaitupleasure indulgence atau kenikmatan cita rasa tinggi yang dapat terasa pada gigitan pertama lapisan coklat Belgia lalu menyatu dengan es krim vanilla yang lembut membuat varian baru Wall’s Magnum ini terasa sangat berbeda.”
“Dengan pilihan kualitas terbaik dari coklat Belgia, kami yakin Wall’s Magnum mampu memberikan kenikmatan premium dimana saja.Wall’s Magnum memberikan sensasi yang berbeda dimana para konsumen diberi kesempatan untuk memanjakan diri dengan kenikmatan cita rasa spesial secara visual, persepsi, dan indrawi melalui tiga varian es krim Wall’s Magnum terbaru – Classic, Almond, Chocolate Truffle,” tambah Meila.
Masing-masing varian Wall’s Magnum mempunyai simbol/persepsi tersendiri sepertiWall’s Magnum Classic melambangkan rasa orisinil Wall’s Magnum yang mampu memberikan rasa dengan kualitas terbaik tiada tara dari gigitan pertama lapisan coklat Belgia sampai pada es krim vanilla yang begitu halus. Kemudian Wall’s Magnum Almond, identik dengan seksi dan berjiwa petualang yang dipancing dengan es krim vanilla yang halus berlapiskan coklat susu Belgia yang tebal dan renyah ditambah gurihnya kacang almond. Lalu, bagi para konsumer yang ingin memancarkan dan merasakan kemewahan, Wall’s Magnum Chocolate Truffletersedia dengan es krim coklat yang dicampuri coklat truffle berlapiskan coklat Belgia nan tebal dan renyah.
Bagi konsumen yang selalu bergelut dengan waktu dan kesibukan kehidupan modern, momen untuk merasakan pleasure indulgence seperti ini sulit untuk direalisasikan. Kebutuhan memanjakan diri seperti liburan keluar kota, santai di spa, dan sebagainya merupakan kebutuhan pelengkap dan menjadi bagian dari hak pribadi setiap orang. Melihat kebutuhan tersebut, “Wall’s Magnum berperan untuk membantu para konsumen melepaskan diri dari kehidupan modern yang sangat sibuk untuk bisa merasakan kenikmatan luar biasa, intens, dan sensorial seperti dimanjakan layaknya seorang putri,” tutup Meila.
Selain meluncurkan 3 varian es krim terbarunya, Wall’s Magnum pun memperkenalkan Marisa Nasution sebagai Brand Ambassador Wall’s Magnum.Sebagai salah satu publik figur yang mempunyai waktu yang sempit untuk menikmati waktu senggang dan memanjakan diri untuk bersantai, Marisa Nasution, Brand Ambassador Wall’s Magnum mendukung ide varian baru es krim Wall’s Magnum ini. “Sebagai perempuan yang aktif di dunia hiburan, memang sulit mencari waktu senggang dimana saya bisa memanjakan diri. Dan di tengah-tengah hiruk pikuk kesibukan, aku masih ingin merasa spesial, diperhatikan, diperlakukan, dan dimanja layaknya seorang putri. Saya senang dan bangga terpilih sebagai Brand Ambassador Wall’s Magnum karena saya mendapatkan apa yang saya inginkan,” jelas Marissa Nasution, Brand Ambassador Wall’s Magnum.
Dalam peluncurannya, Magnum juga akan mengadakan dua program khusus, antara lain adalah Magnum Royal Fame yang akan diselenggarakan mulai tanggal 12 – 14 November 2010 dan bertempat di Senayan City. Dengan mendatangi booth Magnum yang berada di Senayan City dan membeli es krim Magnum, pengunjung mendapat kesempatan untuk membawa pulang hasil cetak fotonya atau bahkan melihat wajah mereka yang diprojeksikan ke giant wall Senayan City selama berlangsungnya Magnum Royal Fame mulai jam 19.00 sampai pagi.
Sedangkan program lainnya yaitu Magnum Royal Chocolate Party yang akan diselenggarakan di Portico , Senayan City, Jakarta pada tanggal 12 November 2010. Magnum Royal Chocolate Party ini merupakan simbol peluncuran untuk ketiga varian es krim baru dari Wall’s Magnum. Pesta ini akan diramaikan oleh Marissa Nasution selaku Brand Ambassador Wall’s Magnum dan tiga hosts terpilih yang mewakili kepribadian masing-masing varian, yaitu Mesty Ariotedjo mewakili Wall’s Magnum Classic nan-klasik, Indah Kalalomewakili Wall’s Magnum Almond nan-sexy, dan Rianti Cartwright mewakili Wall’s Magnum Chocolate Truffle nan-glamor. Pada penghujung acara ini, Magnum akan meluncurkan video mapping menampilkan seputar es krim Wall’s Magnum dengan teknologi dan digital tinggi yang diprojeksikan ke salah satu sisi gedung Senayan City yang berukuran 40 x 25 meter.
Dan yang tidak terlupakan juga adalah aktivitas pendukung lain yang akan selalu hadir sepanjang tahun 2011, seperti Mini Magnum Lounge dan kegiatan menarik lainnya di dunia digital.
                

     

Chocolate Angel Food Cake Recipe



I love the look of this Chocolate Angel Food Cake - its lovely chocolate brown color and its uneven and ragged top and sides. It has a wonderful airy lightness and a subtle chocolate flavor, that can be eaten alone or with fresh berries and cream. An Angel Food Cake is a foam cake which means it relies on beaten egg whites for its volume. This cake does not contain egg yolks, fat, or even baking powder. It does, however, contain more sugar than other cakes and this is to support and stabilize the large amount of egg whites. Cake flour, which is a low gluten flour, is used to give the cake its delicate texture. This recipe comes from Rose Levy Berenbaum's Cake Bible and she says that the cocoa powder used in this recipe "does wonders to temper the sweetness". 
Angel food cakes use their own special pan which Greg Patent in "Baking in America" tells us was invented in the late 1800s. He says the first tube pans were, in fact, square and the "central tube assured the even distribution of heat to the batter, resulting in cakes that cooked more quickly." The pan is left ungreased so the batter can cling to the sides of the pan as it bakes and allows it to reach its full volume. Unlike most cakes that are simply placed on a wire rack to cool, angel food cakes are immediately inverted so the baked cake will maintain its volume and to keep it from shrinking as it cools. 
You may be surprised at how many egg whites are in an angel food cake, but if we look at cake recipes around the time of its invention, circa 1870, we find that all cake recipes used lots of eggs.  Waverley Root in Eating in America A History tells how in Mrs. J. Chadwick's 1853 Home Cookery she calls for 32 egg yolks for just one cake.  He also cites Mrs. Horace Mann's Christianity in the Kitchen(1861) as calling for 20 eggs in one cake that had to be beaten for about three hours.  It is a good thing that at about the same time the angel food cake was invented the rotary egg beater came along which eliminated the long and laborious hand beating of batters.
There is always the problem of what to do with all the leftover yolks.  You can freeze egg yolks for later use.  Sharon Tyler Herbst in The Food Lover's Tiptionary advises "adding 1/8 teaspoon salt or 1 1/2 teaspoons sugar to each 1/4 cup of yolks (4 yolks) and beat to combine.  This inhibits gelatin and whether you add salt or sugar depends on how you will be using the yolks later on." They can be frozen for up to three months or else placed in the refrigerator for a few days. 



Chocolate Angel Food Cake Recipe: Preheat oven to 350 degrees F (177 degrees C) and place rack in center of oven.  Have ready a 10 inch (25 cm) two piece angel food cake (tube) pan.
Separate 16 eggs, whites in one bowl and yolks in another.  Cover whites with plastic wrap and bring to room temperature (about 30 minutes). Cover yolks and store in refrigerator or freezer for another use.
In a small measuring bowl combine the cocoa powder and boiling water and stir until smooth. Stir in the vanilla extract. 
In another bowl whisk together 3/4 cup (150 grams) granulated white sugar, the sifted cake flour, and the salt. 
In a large mixing bowl, with the whisk attachment, beat the egg whites until foamy. Add the cream of tartar and continue to beat until soft peaks form. Gradually beat in the remaining 1 cup (200 grams) granulated white sugar until stiff peaks form. 
Remove 1 cup (240 ml) of the beaten egg whites and whisk it into the cocoa powder mixture to lighten it.
To the remaining egg whites, gradually sift the flour mixture over the egg whites (about 1/4 cup at a time) and gently but quickly fold the flour into the egg whites, using a large wire whisk or a large rubber spatula. Once you have incorporated the flour mixture into the egg whites fold in the cocoa powder mixture. (It is important not to overmix the batter or it will deflate.)
Pour the batter into the pan (will be almost full) and run a metal spatula or knife through the batter to get rid of any air pockets. Smooth the top and bake in the oven for about 40 - 45 minutes or until a wooden skewer inserted in the center of the cake comes out clean and the cake springs back when gently pressed. The top of the cake will have cracks. 
Immediately upon removing from the oven invert the pan.  Suspend the pan by placing the inner tube on the top of a soda or wine bottle. Allow the cake to cool for about 1 1/2 hours.
When completely cool, run a metal spatula or knife around the sides of the pan to loosen the cake and then remove the cake from the pan. Next, run a metal spatula or knife along the bottom and center core of the pan and remove. Place onto a serving plate. The cake will keep covered for a few days at room temperature or for about a week in the refrigerator.
This cake can be eaten alone with just a dusting of cocoa powder or confectioners' sugar. Is also wonderful with fresh berries and softly whipped cream.
Serves 12
Sources:

Chocolate Angel Food Cake Recipe:

16 large egg whites (2 cups) (480 ml)
1/3 cup (30 grams) unsweetened cocoa powder (I like to use Dutch-processed)
1/4 cup (60 ml) boiling water
2 teaspoons pure vanilla extract
1 3/4 cups (350 grams) granulated whitesugar, divided
1 cup (100 grams) sifted cake flour
1/4 teaspoon salt
2 teaspoons cream of tartar
Note:  Cream of Tartar is tartaric acid and is a fine white crystalline acid salt which is a by-product of the wine-making industry.  It is used when whipping egg whites to stabilize them and to prevent over beating and the whites drying out.

The World's Best Chocolate

By Pete Wells
Fw200605_chocolateLate last year, I grew curious about an Italian chocolate brand called Amedei. I mean curious in the same sense that sharks are curious about surfers. Amedei, founded in 1990, is the joint project of a 42-year-old Italian named Alessio Tessieri and his younger sister, Cecilia; he buys the cacao and she turns it into dark, glossy bars. In November, a competition in London awarded a gold prize to one of Cecilia's handiworks, a single-plantation chocolate called Chuao. Two other Amedei products tied for silver.
Both the visionary French pâtissier Pierre Hermé and the visionary Spanish chef Ferran Adrià have said that Chuao might, in fact, be the world's greatest chocolate. And yet Amedei is sold in only a handful of stores in the U.S., and—while a new importer has big plans for the brand—few Americans have heard of it.
How had the Tessieris vaulted from obscurity to produce chocolate in the same rarefied league as Cluizel, Scharffenberger and even the mighty Valrhona? And, more urgently, where could I get some?
The second question had an easy answer: Chocosphere, World Wide Chocolate and other very handy Web sites for people who care about cacao content. A carton from Chocosphere containing just over a half pound of Amedei bars and squares ran me $50, with shipping. The next day, the whole box was gone. In my defense, I've seen engagement rings that came in bigger boxes. I knew that I wanted more, but at $100 a pound it would be cheaper to fly to Italy and go to the factory myself, which is what I did. This might make me the first traveler in history who went to Tuscany to save money on a candy bar.
The Tessieris work about 40 miles west of Florence, close to the Arno, and not far from Pisa; the Italian wine and food magazine Gambero Rosso has called this region the Chocolate Valley because of the concentration of chocolatiers who work there—among them Paul de Bondt, Roberto Catinari and Luca Mannori. The Chocolate Valley is not nearly as famous as other parts of Tuscany. For me, this only increased its allure. While other tourists inched through the vineyards of Chianti staring at the exhaust pipe of the rental car just ahead, I would be lazily bobbing along in a rowboat, dipping pieces of bread over the side into the world's biggest fondue.
Amedei sits just outside Pontedera, where they build those stylish Vespa scooters that make even old Italians look young. Amedei's factory, a low brick structure, used to be an iron foundry. Alessio and Cecilia met me inside a tasting room, where a table was set with linen tablecloths and silver chargers. Two large jars were prominently displayed; filled with what looked like water, each held a large, red, heart-shaped object. Cecilia wore a severe suit of charcoal gray, a no-nonsense expression, and a red scarf; the factory was cold that day. Alessio's face was round and rosy, and his rimless eyeglasses made him look more like a graduate student than a chocolate baron.
Trying to make small talk, I mentioned hearing that there were many other chocolate makers nearby.
Alessio shook his head. "But those other companies do not make chocolate," he replied. "They buy it."
In the lofty strata where Tessieri operates, "making chocolate" means that you make the chocolate. You import cacao beans from plantations. You roast them and husk them and grind the cacao nibs into a fine paste. You add sugar and grind some more. Finally you swirl the mixture in open tanks called conches, which smooths the texture while helping to blow off acids and other nasty flavors. It's complicated, demanding work, and few small companies even attempt it.
Cecilia asked me to put on a hairnet, a plastic jacket and disposable blue booties, then led me downstairs to the factory. The machines, Swiss, Italian and German models painted ivory, clacked and hammered away, sounding like an orchestra of conga drums. A young guy with tattooed forearms strained to push sweetened cacao paste through a screen with a paddle. For some reason, the floor was painted blood red. The chocolate smell was so strong and pure I could barely think. Somehow I managed to remark to Alessio that these antique machines must limit the quantity of chocolate Amedei can make.
"The problem is not the machines," he said. "The problem is cacao. We can't find enough good cacao." Only by starting with prime cacao, he explained, can you achieve the quality and character that set Amedei apart from the candy makers, who buy bulk chocolate.
"Everyone said, why do you want to work so hard and invest in machinery?" Alessio explained. "Everyone said to make chocolate, you need to produce tons, not kilos. But this was a desire to do something unique."
But that wasn't the Tessieris' only desire. When we simply love something we eat, it's natural to imagine that it was made from the same simple love. And often we're right, but the motives that drive people to work as hard as Alessio and Cecilia can sometimes be a little more complicated.
The Tessieris did not set out to make chocolate. In the beginning, like the rest of the Chocolate Valley, they made candy. Their parents owned a business in Pontedera that sold pastry ingredients to bakers. Alessio and Cecilia went off on their own, but they didn't stray far. They rented a small room in town and began to experiment with what they call pralines and we call filled chocolates. Soon enough, they wanted to move to a higher grade—the highest grade they knew. So the brother and sister, who were still in their 20s, went to visit a chocolate maker they greatly admired.
In 1991, Alessio and Cecilia made a pilgrimage to Tain l'Hermitage, in the Rhône Valley, for an appointment at Valrhona. The Tessieris were humored for a while, but when they were ready to make a deal, they were sent away with nothing. The French wouldn't even negotiate. According to Cecilia, they were told that Italy wasn't evolved enough to appreciate such extraordinary chocolate.
It was a personal slight, a national insult, a call to arms. "Right then and there," Cecilia would later say, "it was war."
Chloé Doutre-Roussel, the author of The Chocolate Connoisseur and one of the world's leading authorities on fine chocolate, uses another word to describe what came next: vendetta. "Everything Alessio does, he does with intensity," Doutre-Roussel says. "So this revenge became his focus. He put everything—the family money, even his sister—on this project."
Within three weeks, the Tessieris decided that they weren't going to buy chocolate anymore—they would make it. Cecilia apprenticed with bean-to-bar artisans around Europe. At first they bought cacao from brokers, but by 1997, Alessio had begun hunting it himself, from Ecuador to Madagascar to the Caribbean coast of Venezuela. This last region was especially rich with cacao of the first rank; a lot of money was at stake, and life could get rough. Four years ago, someone tried to murder a cacao buyer who worked with Valrhona, strafing his car with an automatic weapon and leaving him with a half-dozen gunshot wounds.
The most famous Venezuelan cacao of all comes from Chuao. The trees of Chuao are shielded by mountains from all but the warm Caribbean breezes; the soil is naturally irrigated by three cascading rivers. Doutre-Roussel calls the region "one of the jewels of the earth." Besides the microclimate, Chuao has centuries-old traditions of harvesting and preparing cacao. First it's fermented to develop the compounds that will later blossom into rich aromatics, then it's laid out on the parvis in front of the village church to dry slowly in the sun. Because the farmers worked together as a cooperative, Chuao is one of the only places where a chocolate maker could buy, at one stroke, 9 to 10 tons of uniformly excellent cacao. Until recently, that chocolate maker was Valrhona. Today every last kilo of cacao from Chuao goes to Amedei.
Alessio went around to the brokers and negotiated directly with the farmers' cooperative, offering to pay off their debts and triple the previous price for their beans. "By the time Valrhona realized, it was gone," Doutre-Roussel says.
Cecilia transforms the beans of Chuao into chocolate that packs a sensory wallop I tend to remember for weeks. It's very aromatic, with a clarity and elegance more often found in wine and some single malts. One bar retails for just under nine dollars. Chuao represents just a fraction of Amedei's total output, yet it has made the Tessieris famous.
The story of how Amedei eloped with Chuao and sent the wedding pictures to Tain l'Hermitage isn't exactly a vision of sugar plums, but the chocolate industry has a long history of wars, most of them far more brutal. Steve DeVries, a bean-to-bar chocolate maker from Denver, used to say that the Spanish arrived in Mexico and threatened, "Give us your cacao or we'll shoot you." Hunting beans in Mexico, DeVries repeated the remark to an anthropologist. "No, no, no," the anthropologist said. "Before that, the Aztecs came down and said 'Give us your cacao or we'll cut your hearts out.'"
Even today, the chocolate trade looks a lot like it did in colonial days: Raw materials bought at generally low prices in the tropics are shipped to the developed world and turned into a luxury product. Today, three of the largest importers of cacao to America are fighting a lawsuit filed by a human rights group claiming that they buy beans harvested by child slaves, mostly in the nation of Ivory Coast. Several journalists have contended that the extent of slavery in the cacao industry has been overblown, but it's hardly comforting to hear that the number of slaves who helped make your afternoon snack has been exaggerated. Without doubt, adults and children on some cacao farms, particularly in West Africa, perform demanding, exhausting work for awful pay.
Most chocolate makers know nothing about where their cacao comes from. A former consultant for a well-regarded European chocolate maker told me that until last year, the firm's cacao buyer had never been to a plantation. Farmers sell to brokers who sell to bigger brokers; by the time the cacao reaches the factory, nobody knows its story. Sometimes this arrangement allows growers to mistreat workers without accountability. It also can allow them to get the same price for unripe, rotting or generally trashy beans—at their worst, these are known as "dogs and cats"—that they get for the good stuff.
"We became convinced it was impossible to become number one in the world buying beans from brokers," Alessio says. "The broker cannot tell you who grew the beans, or how it was done." I don't take Alessio for a weepy humanitarian, and yet he practices enlightened self-interest when it comes to the people who grow his cacao. He has invested in Chuao, agreeing to pay off the farmers' mounting debts and buying baseball uniforms for the local team. He needs their best work so that he and Cecilia can do their best work.
Back upstairs in the room marked Degustazione, I stripped off my shower cap and booties and sat down across the table from Cecilia. For a long time, neither of us spoke.
"So," Cecilia finally said. "You want to try the chocolate?"
She walked to the sideboard and pulled down three trays, each arrayed with a different cru. Valrhona was the first to borrow that wine term and apply it to chocolate; Amadei uses it to describe bars made with beans from the same region. Amedei's Grenada I Cru was quiet and had something about it that reminded me of raspberries. The Jamaica was stronger and made me think of pipe tobacco; so did the Venezuela, but it also had a durable aftertaste of good black coffee. Then Cecilia offered me a tray of the first chocolate she made, called Toscano Black 70 percent. This time, I had trouble picking individual voices out of the choir. I mostly remember the overall sensation of getting all the deliciousness any sane person could want.
All the while, I'd been looking at the red heart-shaped objects that were floating in the two big jars. I kept thinking about the Aztecs. At last I asked Alessio what they were. "Cacao pods," he said. "In formaldehyde so they do not dry up." The one off in a corner behind the door was a unique Venezuelan variety called Porcelana. The other, placed on a low table next to all the trays of chocolate, gleamed and glistened like a trophy. That one was Venezuelan too, Alessio said with a smile. It came from Chuao.
Find more information about Amedei at amedei-us.com.
Pete Wells is a contributing editor to Food & Wine. E-mail comments to him at pete.is.hungry@gmail.com

Cafe es Cream Magnum



Salah satu pojokan yang ada di Magnum Cafe, lantai 5 Grand Indonesia Shopping Town, Jakarta. Kafe ini mulai beroperasi untuk umum pada tanggal 27 Februari 2011 hingga bulan Mei 2011.
    Jumat, 25/2/2011 | 00:55 WIB
    KOMPAS.com - Pernah menyaksikan iklan es krim Magnum dari Wall's? Dalam iklan tersebut, digambarkan seorang perempuan sedang makan es krim Magnum yang tiba-tiba merasa seperti seorang putri kerajaan. Ia merasa dimanjakan dan dilayani oleh orang-orang di sekelilingnya sejak "crack" dari gigitan pertama lapisan cokelat luaran es krim. Ingin memberikan pemanjaan yang sama kepada para penikmat es krim Magnum, Wall's mempersembahkan sebuah "sweet escape"  di Magnum Cafe.

    "Ada yang bisa saya bantu, My Lady?" Begitu ucap seorang pramutamu kepada Kompas Female. Seperti itulah sapaan pramutamu kepada tamu perempuan yang datang ke Magnum Cafe. Dipanggil dan dilayani seperti seorang putri tentu menjadi sebuah kesan tersendiri bagi para wanita. Apalagi jika dimanjakan dengan rasa manis dan segar es krim, hmmm. Magnum sepertinya serius ingin membuat wanita benar-benar merasa dimanja.

    Magnum Cafe yang terletak di lantai 5 West Mall Grand Indonesia Shopping Town, Jakarta diperkenalkan kepada media pada Kamis, 24 Februari 2011. Namun, operasional untuk umum baru akan dibuka pada hari Minggu 27 Februari 2011. Rencananya, Magnum Cafe hanya akan dibuka selama 3 bulan, dari bulan Maret-Mei 2011.

    Dalam kesempatan temu media, Meila Putri Handayani, Senior Brand Manager es krim Magnum mengatakan, sejak diperkenalkan kembali kepada masyarakat di akhir tahun lalu, es krim Magnum berhasil menarik perhatian pencinta es krim di Indonesia. Menanggapi antusiasme ini, Magnum bersama Ismaya Group bekerja sama membuat pop-up cafe ini.

    "Ini suatu tantangan bagi kami, bagaimana menjalani permintaan klien untuk membantu brand awareness dari merek mereka. Sangat singkat, dalam waktu kurang dari 1 bulan, dengan permintaan detail yang cukup banyak, dengan pengalaman, tim kuat, kesabaran, serta keyakinan, maka Magnum Cafe ini bisa kami jalankan," ujar Kiki Utara, pimpinan Ismaya Group yang sudah lama memiliki pengalaman di bidang food and beverage, yang juga membawahi Dragonfly dan restoran Blowfish.

    Es krim Magnum di pasaran hanya memiliki 3 rasa; Classic, Almond, dan Truffle. Tetapi jangan mengira Magnum Cafe hanya menyediakan es krim saja. Di kafe ini, Anda akan melihat jejeran menu bernama unik yang dirancang oleh Chef Aldo Volpi dari Italia. Ia merancang cukup banyak menu khusus untuk Magnum Cafe, meski tidak semuanya menggunakan bahan baku Magnum.

    Dijelaskan lagi oleh Kiki Utara kepada Kompas Female, bahwa lewat hal semacam ini, seperti Magnum Cafe, kita bisa membuka pikiran mengenai menu-menu baru. "Bahwa ternyata bahan baku yang ada di Magnum bisa diolah sedemikian rupa hingga jadi berbagai macam menu unik. Mulai dari appetizer, main course, jugadessert, dan mocktail. Magnum Cafe, selain ditujukan untuk meningkatkan brand awareness, juga bisa jadi tempat edukasi, bahwa menikmati es krim bisa dilakukan dengan berbagai cara."

    Dalam siaran kepada pers, beberapa menu yang akan disajikan di Magnum Cafe terbagi menjadi beberapa bagian; Waffle (Waffle de Aristocrat), Creme de la Creme (Goblet of Chocolate, Razzle Dazzle, Crown Jewel), Noble Nibble (Pas de Trois, A Knight's Tale, Court Jester, The Emperor, Commander's Fried Rice, Royal Kingdom), dan Royal Feast (Tate Dynasty sebagai main course). Untuk minuman; Magnum Signature (Summer Tango), Magnum Shake (Truffle Royale), dan Magnum Chocolate (Ice Queen). Sayangnya, saat temu media, tak semua menu diperlihatkan, buku menu pun belum jadi, hingga belum bisa tergambarkan penuh makanan yang ada. Namun, bisa diceritakan, minuman-minuman yang dihadirkan memiliki campuran cokelat atau es krim yang dipadankan dengan buah mangga (Summer Tango), atau stroberi, dan lainnya. Harga makanannya berkisar antara Rp 25.000-Rp 165.000.

    Untuk menggambarkan makanan utama yang mereka unggulkan, Tate Dynasty, Kiki Utara menggambarkan secara lisan, "Selama ini kita tahunya main course kalau dingin ya dingin, kalau panas ya panas. Tetapi, di menu kami, ada berbagai macam. Misal, ribs yang dicelupkan dalam cokelat yang sudah dicampur bumbu. Ini enak sekali, karena ternyata bisa menghilangkan bau dari kambing itu. Di bagian dasarnya juga ada lapisan cokelat yang meleleh, dan menciptakan rasa unik. Buat saya sendiri pun, itu hal yang baru."

    Ditambahkan lagi oleh Meila, selain bisa merasakan atmosfer yang ditata modern victorian, para tamu bisa mengkreasikan sendiri topping es krim Magnum. Pilih dasar es krimnya, ingin yang cokelat atau vanila, kemudian kreasikan sendiri topping-nya, seberapa tebal cokelat luarannya, mau ditambah kacang hazelnut atau almon, atau lainnya.

    Untuk mensosialisasikan kafe ini, Magnum akan menyelenggarakan beberapa aktivitas, seperti Beauty Class, Chef Class, Fashion Event, Live Acoustic Band, Family/Kids Promo, Magnum Bartender Cocktail Class, dan kompetisi video berhadiah voucher belanja Rp 10 juta, dan lainnya. Informasi mengenai aktivitas dan informasi seputar Magnum bisa dilihat di Facebook Fan Page di MyMagnumID atau dengan mem-follow akun Twitter di @mymagnumid, atau klik ke www.mymagnum.co.id.

    Jumat, 25 Maret 2011

    Sejarah Anggur

    Anggur merupakan tanaman buah berupa perdu yang merambat. Dilihat dari sejarahnya Anggur berasal dari Armenia, tetapi budidaya anggur sudah dikembangkan di Timur Tengah sejak 4000 SM. Sedangkan teknologi pengolahan anggur menjadi wine pertama kali dikembangkan orang Mesir pada 2500 SM. Dari Mesir budidaya dan teknologi pengolahan anggur masuk ke Yunani dan menyebar ke daerah Laut Hitam sampai Spanyol, Jerman, Prancis dan Austria.

    Sejalan dengan perjalanan Columbus anggur dari asalnya ini mulai menyebar ke Mexico, Amerika Selatan, Afrika selatan, Asia termasuk Indonesia dan Australia. Penyebaran ini juga menjadikan Buah Anggur punya beberapa sebutan seperti Grape di Eropa dan Amerika, orang China menyebut Pu tao dan di Indonesia disebut anggur.

    Anggur termasuk tanaman marga Vitis. Tidak semua jenis dari marga ini dapat
    dimakan, yang bisa dimakan hanya dua jenis yaitu Vitis vinifera dan Vitis labrusca.
    Tanaman anggur jenis Vitis vinifera mempunyai ciri:

    1. Kulit tipis, rasa manis dan segar.
    2. Kemampuan tumbuh dari dataran rendah hingga 300 m dari permukaan laut beriklim kering.
    3. Termasuk jenis ini adalah Gros Colman, Probolinggo Biru dan Putih, Situbondo Kuning, Alphonso Lavalle dan Golden Champion.
    Tanaman anggur jenis Vitis labrusca mempunyai ciri:
    • Kulit tebal, rasa masam dan kurang segar.
    • Kemampuan tumbuh dari dataran rendah hingga 900 m dpl.
    • Termasuk jenis ini adalah Brilliant, Delaware, Carman, Beacon dan Isabella.
    Dari kedua jenis ini yang banyak dikembangkan di Indonesia dan direkomendasi oleh Departemen Pertanian sebagai jenis unggul adalah jenis Vitis vinifera dari varietas Anggur Probolinggo Biru dan Alphonso Lavalle. Namun ada juga yang dianjurkan ditanam antara lain Gross Collman, Probolinggo Putih, Isabella, Delaware, Chifung dan Australia.

    Anggur dimanfaatkan sebagai buah segar maupun untuk diolah sebagai jadi produk lain seperti minuman fermentasi hasil perasan anggur yang mengandung alkohol biasa disebut Wine, dikeringkan menjadi kismis dan untuk keperluan industri selai dan jeli.

    Cara Memilih Buah Durian


    Buah durian emang jadi kegemaran banyak orang, baunya yang menggoda dan rasa yang unik menjadi incaran banyak orang. Tapi tidak semua orang suka durian looh, memang sangat disayangkan kalo kamu ngelewatin rasa buah yang satu ini. Biasanya beberapa orang yang ga suka durian karena rasanya yang pekat atau terlalu tajam rasa menyengat seperti ada alkoholnya.
    Hal ini bisa disiasati dengan mencampur durian dengan makanan kesukaan kamu, seperti es krim ataupun buah-buahan lain. Buat kamu yang ga mau ribet campur-campurin rasa, bisa langsung coba durian di outlet yang khusus menjual buah ini, misalnya ke ES DURIAN “PAK AIP”, dijamin langsung suka. karena disini kamu bisa pilih berbagai variant rasa yang berbahan dasar durian dengan harga uang yang relatif terjangkau mulai dari 14000 – 17000 aja (harga bisa berubah).
    Outlet Pak Aip sendiri udah tersebar di Bandung, ini bisa jadi tempat kongkow yang asik karena disini juga terdapat berbagai makanan seperti Mie Ayam dan Juice dengan berbagai rasa. Ga usah ragu lagi ya untuk coba durian . . . Tapi ingat harus hati-hati juga makan buah durian jangan terlalu kebanyakan, ntar bisa overdosis tuch cikaka….
    Baik langsung saja, berikut ini adalah beberapa tips cara untuk memilih buah durian yang bagus agar tidak tertipu (Jangan mau membeli kucing dalam karung yah!):
    1. Pada umumnya jika kita hendak membeli dan memilih buah durian tentu pengennya kan yang matang biar langsung bisa dimakan begitu nyampai dirumah dan rasanya mack nyuss… Nah salah satu ciri jika durian sudah matang, biasanya kulitnya layaknya umumnya pada buah-buahanwarnanya kuning kecoklatan. Kemudian jangan lupa memastikan keadaankulit juga masih dalam keadaan bagus yaitu bebas cacat, hal ini tentunya sangat membantu agar kita tidak membeli buah yang telah busuk. Jangan juga memilih buah durian yang kulitnya pecah atau retak, karena jika kulit sudah tidak bagus walaupun sudah matang pasti akan mempengaruhi aroma bau-nya, sehingga rasanya tidak mungkin menjadi tawar atau asam.
    2. Kemudian perhatikan durinya, durian tua yang siap di santap biasanya durinya akan menjadi tumpul dan lebih jarang jika dibandingkan dengan buah durian yang muda. Karena durinya jarang, membuat bentuk duri tersebut menjadi lebih agak sedikit besar dan ini akan keliatan cukup jelas diamati dengan mata telanjang (gak perlu pakai mikroskop kok he4x). Nah jika telah menemukan bentuk duri seperti itu, maka kemungkinan besar isi duriannya bagus dan dapat memuaskan rasa kuliner kita karena isinya besar, manis, dan kering (pokoknya pas dech).
    3. Jangan lupa juga sebisa mungkin untuk melirik bentuk buah durian yang unique dari pada yang lain (tidak terlalu bulat), karena biasanya bentuk seperti ini isinya lebih tebal dan berbiji kecil.
    4. Buah durian yang tua dan bagus biasanya isinya akan kering dan sedikit terlepas dari cangkangnya. Nah, oleh karena itu sebisa mungkin goyangkan buah durian yang hendak akan dipilih dan dibeli, jika ternyata setelah digoyongkan ada sedikit getaran kecil berarti isi didalamnya telah matang dan kering. Namun jika tidak ada getaran maka isi didalamya masih muda sehingga lunak dan isinya masih lengket dengan cangkang dalamnya.
    5. Kemudian cium baunya, jika baunya menyengat kuat dan harum, berarti sudah dapat ditebak isi di dalamnya benar-benar telah matang. Namun jika penjual mengatakan buah tersebut sudah matang tapi ketika kita cium tetap gak terlalu tercium baunya maka kemungkinan besar buah tersebut matang tidak alami, yaitu missal di karbit. Mungkin sebagian dari kita pengennya sih ngdapetin buah yang mateng dari pohonnya. Nah untuk mencari tahu hal ini, kita dapat melihat ujung tangkai buah durian. Jika ujung tangkai tersebut rata, berarti buah tersebut dipotong dari pohonnya dengan pisau. Nah jika ujung tangkainya tidak rata berarti buah tersebut jatuh dari pohonnya karena telah matang di pohon.

    Masaakan Bandung

    Sumber: Ibu Santi Wijanarko

    Lauk gorengan dari tempura hingga nugget saat ini sangat digemari. Hampir di tiap pesta dan jamuan, lauk gorengan selalu jadi sajian favorit. Jika Anda juga ingin menyajikan lauk gorengan untuk acara keluarga, ada baiknya baca dahulu tips berikut ini.

    Jenis
    Lauk gorengan yang sedang digemari saat ini adalah jenis tempura yang terbuat dari sayuran (terung, ubi, paprika, bawang Bombay) dan udang. Kecuali itu ada juga beragam jenis nugget seperti nugget ayam, ikan, udang, dan cumi. Atau beragam jenis ayam goreng seperti ayam goreng tepung, sayap goreng isi, rolade ayam goreng, dan kulit ayam goreng tepung. Sebaiknya tentukan jenis yang akan Anda sajikan, bisa 2-3 jenis ayam goreng dan beberapa jenis gorengan dari seafood agar Anda tidak kerepotan. Karena lauk gorengan harus disajikan panas.

    Wadah
    Jika tersedia tempat tersendiri seperti gerai/gubuk bisa digoreng langsung saat akan disantap. Jenis tempura harus digoreng sedekat mungkin dengan waktu bersantap. Lauk gorengan jika dingin tidak renyah lagi sehingga rasanya juga kurang gurih. Kalaupun tak ada tempat tersendiri usahakan lauk gorengan digoreng sesaat akan disantap sehingga tetap renyah dan segar.

    Garnish
    Untuk memberi kesan istimewa, jika disajikan pada piring saji, pilih piring saji yang datar, Taruh daun kol atau selada bokor atau wortel yang diiris halus di bagian tengah piring. Taruh gorengan di kelilingnya. Lengkapi dengan irisan jeruk lemon atau nipis agar tampil memikat. Usahakan dalam satu piring tersaji semua jenis lauk gorengan yang ada sehingga tamu bisa mencicipi sesuai selera.

    Saus
    Sebagai pelengkap lauk gorengan bisa disajikan dengan saus cabai botolan, mayones botolan, mustard pasta atau saus tartar. Untuk pelengkap lauk seafood padukan dengan saus yang asam segar atau perciki gorengan dengan sedikit air jeruk lemon saat akan disantap agar aroma anyirnya berkurang.




    Sumber: Dany Riswandy
    Hidangan pencuci mulut yang istimewa, tentu saja dapat membuat acara makan menjadi berkesan. Kali ini kami sajikan dessert dari Italia, Tiramisu. Memang di toko kue atau resto besar pencuci mulut ini banyak tersedia, tidak ada salahnya Anda coba di rumah. Untuk wadahnya dapat ditempatkan di loyang atau di gelas cocktail. 
    Bahan-bahan yang diperlukan: 

    • 400 gr keju mascarpone 
    • 150 ml krim kental 
    • 20 buah bolu kering atau kue lidah kucing 
    • 4 sendok makan larutan kopi kental 
    • 2 kuning telur 
    • 2 sendok makan gula pasir halus 
    • 2 sendok makan brandy 
    • 2 sendok teh coklat bubuk 
    • ¼ sendok teh vanili bubuk 

    Krim moka: 
    • 50 gr coklat masak, potong-potong 
    • 1 sendok makan essens kopi 
    • 1 sendok teh gula bubuk, ayak 
    • Coklat serut atau coklat bentuk biji kopi, untuk hiasan 

    Cara Membuatnya: 
    1. Kocok kuning telur, gula dan vanili hingga lembut . 
    2. Tambahkan keju sedikit demi sedikit sambil kocok hingga lembut dan rata. 
    3. Taruh brandy dan kopi dalam mangkuk. Celupkan bolu kering dalam larutan kopi hingga agak basah 
    4. Siapkan 4 gelas cocktail. Taruh biskuit dan adonan keju berselang-seling hingga gelas penuh 
    5. Taburi masing-masing permukaan dengan coklat bubuk. Simpan dalam lemari pendingin hingga mengeras. 

    Krim Moka: 
    6. Tim coklat bersama essens kopi hingga leleh. Angkat dan dinginkan. 
    7. Kocok krim hingga kental, masukkan coklat leleh sambil kocok hingga rata. Simpan dalam lemari pendingin, selama 30 menit. 
    8. Penyajian: Hiasi permukaan tiramisu dengan krim moka. Taburi gula bubuk dan hias dengan coklat serut atau coklat bentuk biji kopi.